Bangkitlah kaum Muda ...!!

Bangkitlah kaum Muda ...!!


HARI Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober perlu dimaknai bersama oleh segenap rakyat Indonesia sebagai sebuah momentum penting lahirnya kesadaran kolektif kaum muda Indonesia untuk bangkit dan berjuang melawan belenggu bangsa penjajah.

Adalah Richard O Anderson yang tanpa ragu mengatakan Indonesia tidak dilahirkan oleh generasi tua yang teralienasi, melainkan oleh pemuda (PR, 29 Oktober 2012). Soekarno (29), Moh Hatta (26), Syahrir (27), Sudirman (27), SK Trimurti (24), dan Tan Malaka (28) merupakan kaum muda “awal” yang berperan aktif sebagai penggagas sekaligus penggerak kemerdekaan Indonesia.

Mengingat tantangan kaum muda masa kini bukan lagi terletak pada perang fisik mengangkat senjata melawan penjajah di medan perang. Tetapi lebih kepada mematenkan prinsip-prinsip kebangsaan (nasionalisme) yang telah diwariskan founding father Negara ini untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata sehari-hari secara murni dan konsekuen.

Nilai sejarah

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tak hanya menggambarkan realitas semata, tapi juga menyuguhkan hikmah atau pelajaran hidup (Historia Magistra Vitae) bagi manusia masa kini untuk membuat sejarah bagi manusia masa depan. Maka, “Jas Merah!” tegas Bung Karno.

Historisitas Kongres Pemuda 1928—nama sebelum diubah menjadi Sumpah Pemuda oleh Muhammad Yamin, pada 1930-an—yang diikrarkan oleh Muhammad Yamin di rumah Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya No 106, Jakarta Pusat (sekarang Museum Sumpah Pemuda), layak dijadikan spirit hidup bagi kaum muda "baru" untuk mengisi buah kemerdekaan dengan hal-hal berbau positif.

Nilai spirit yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, seperti: persatuan dan kesatuan, tanggung jawab, kebersamaan dan semangat berbagi, anti-intoleransi, anti-kolonialisme, anti-individualisme, dan lain-lain, sangat relevan diterapkan saat ini. Tinggal bagaimana kaum muda “baru” menyipati nilai-nilai tersebut secara benar, hingga melekat kuat dalam perangai kehidupan sehari-hari. Dibutuhkan peran dan arahan kaum tua tentunya untuk merealisasikan hal tersebut.

Paradoks

Namun nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda kini berangsur-angsur hilang terhempas paradoks kehidupan. Intelektual muda, Natalis Pigay mengatakan, formulasi mengenai rasa satu bangsa, satu bahasa memang gencar sekali diutarakan. Namun rasa nasionalisme yang muncul hanya sebatas nasionalisme golongan, bukan nasionalisme kebangsaan (kebersamaan). Hanya ada nasionalisme partai, nasionalisme Jawa; Sumatera; Sulawesi; dan lain-lain. Kolektivitas rasa kebangsaan berskala nasional terus mengalami degradasi nilai tatkala kaum muda terjangkiti penyakit “amnesia” sejarah. Yang tidak lain disebabkan oleh efek modernisasi Barat.

Bisa kita lihat di berbagai sektor kehidupan ketika kaum muda Indonesia terbelenggu perilaku amoral, seperti: tawuran—yang melibatkan pelajar dan mahasiswa, brutalisme, free sex, penggunaan narkoba, fenomena geng motor, hingga pada tingkat kriminalitas: pembunuhan. Pada ranah politik, praktik korupsi yang dilakukan oleh kaum muda seperti Wa Ode Nurhayati (31 tahun), Gayus Tambunan (33), Muhamad Nazaruddin (34), dan Angelina Sondakh (35 tahun), misalnya, cukup mempertegas dekadensi moral kaum muda “baru” yang kontraproduktif dengan identitas kaum muda “awal”.

Bung Karno pernah berpesan, “Dengan terbitnya matahari kebangsaan Indonesia (Sumpah Pemuda) yang bulat dan bersatu, maka hilanglah hak sejarah bagi ide provinsialisme, ide insularisme, dan ide federalisme. Maka barangsiapa sekarang ini membangkitkan kembali ide kesukuan, ide kepulauan, atau ide federalisme, ia adalah seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali tulang orang yang dikubur 30 tahun yang lampau.” (Pidato Bung Karno di Sidang Pleno Konstituante, Bandung, 22 April 1959)

Ya, kondisi seperti sekarang memang penuh dengan potret paradoks tatkala membicarakan kaum muda dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Persatuan dan kesatuan kaum muda yang dulu, pada zaman pergerakan, pernah membahana di langit Indonesia, kini terkotak-kotak ke dalam sangkar-sangkar kecil. Kaum muda Indonesia banyak terjebak oleh sangkar modernisme Barat—yang mengesampingkan etika kebangsaan-kolektif, namun lebih mementingkan azas egoisme dan individualisme ketimbang mempraktekkan azas altruisme dalam kehidupan sosial.

Krisis kesadaran

Pemantik lahirnya Kongres Pemuda II Oktober 1928—yang juga merupakan tonggak lahirnya proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945—adalah kesadaran kaum muda untuk bangkit. Bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan bangsa kolonial.

Tercatat, organisasi kepemudaan dari berbagai daerah di Indonesia—seperti Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond/JSB (1917), Sekar Rukun (1919), Jong Minahasa (1919), Jong Celebes (1919), Jong Islamieten Bond/JIB (1924), Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia/PPPI (1926), Jong Batak Bond/JBB (1926), Pemoeda Kaoem Betawi (1927), dan perkumpulan pemuda lainnya—bangkit menyatakan sikap, menyatukan suara; merdeka!, dan membangun kekuatan kolektif untuk melawan praktik kolonialisme di punggung persada Nusantara.

Maka menjadi sangat penting bagi kaum tua untuk terus memupuk dan mendorong kesadaran kaum muda “baru” agar memiliki keberanian untuk rela berkorban demi kepentingan umum, bertanggung jawab terhadap peran dan fungsi sosial, mampu berprestasi di bidang yang digeluti, serta memperlihatkan totalitas pengabdian pada nusa dan bangsa, juga agama dengan prestasi-prestasi gemilang.

Itulah kiranya nilai-nilai Sumpah Pemuda 1928 yang akan membangkitkan “emosi” kaum muda “baru” masa kini hingga menjadi tidak mungkin jika sosok-sosok revolusioner seperti Sukarno, Moh Hatta, dan Sutan Syahrir akan lahir kembali di zaman ini, dan akan melepaskan belenggu masalah yang mendera bangsa dan Negara yang kita cintai ini. Semoga.***
Selamat Hari Sumpah Pemuda yang ke 87
Dirgahayu Pemuda Pancasila ke 56 Tahun
Selamat 1Thn Annaversary Sapma PP Dumai.

BAHRIN RAMBE,SHI
Ketua Sapma PP Dumai